Kamis, 25 Februari 2016

Ajari Putrimu Berhijab karena Allah

Masih terngiang sepotong dialog antara saya dan almarhumah ibu saya, ketika saya memutuskan untuk mengenakan sepotong kain kerudung di bangku kelas tiga SMA. Ibu saya bertanya, 
"Apa kamu serius? Kalau sudah pakai jilbab, kamu tidak boleh melepasnya lagi. Kamu harus memakainya terus lho...." 
Saya menjawab dengan mantap, "Serius!" 
"Baiklah. Kalau kamu memang serius, nanti Mama buatkan seragam yang panjang, juga jilbab. Ingat ya, kamu tidak boleh melepasnya lagi. Tidak  boleh bongkar pasang."


Kalimat penegasan itu keluar dari mulut ibu saya, yang saat itu belum berjilbab. Ibu saya adalah anak seorang Kiai tersohor di kampungnya. Mbah Kakung adalah seorang Kiai sekaligus guru mengaji, bahkan pernah mengajari mengaji keluarga pejabat tinggi. Mbak Kakung setiap hari berpenampilan layaknya Kiai, dengan kopiah dan sarung. Salat tepat waktu berjamaah di Langgar (musala kecil). Mengajari anak-anak mengaji kitab kuning. Mengajari orang-orang dewasa menyelami kitab Allah. Akan tetapi, anak-anak perempuan Mbah Kung TIDAK MENGENAKAN HIJAB. 

Perubahan itu terjadi belasan tahun kemudian, ketika cucu-cucu Mbah Kung beranjak dewasa. Salah satunya, saya. Saya memakai hijab bukan karena disuruh oleh ibu, apalagi Mbah Kung. Saya memakai hijab dengan kesadaran sendiri. Saya mendapatkan petunjuk dari Allah. Sejak kecil, saya sudah membaca buku-buku. Saat sedang memilih komik di toko buku, saya malah tersasar di rak buku-buku agama dan menemukan buku kecil yang berisi panduan untuk muslimah. Saya rasa, Allah telah menggerakkan tangan saya untuk mengambil buku itu dan membawanya pulang. Entah mengapa, saya menikmati membaca tulisan-tulisan di dalam buku itu. Padahal, saya seorang penggemar komik, tapi mengapa saya malah membaca buku agama? Saya suka membaca komik-komik Jepang, seharusnya saya eneg (mual) membaca buku agama. 

Tubuh saya bergetar, jantung saya berdebar. Hanya deretan kata-kata dari penulis buku itu telah membuat kesadaran saya bangkit. Penulisnya menerangkan kewajiban berhijab bagi setiap muslimah, disertai dalil ayat dan hadisnya. Saat itu, di sekolah saya hanya ada satu dua siswi yang berhijab. Itupun karena mereka lulusan Madrasah Tsanawiyah. Pokoknya, setelah membaca buku itu, keinginan saya begitu kuat untuk berhijab. Hingga tibalah hari itu, SAYA INGIN BERHIJAB.

Ibu saya tidak berhijab.
Tante saya tidak berhijab,
Bahkan, Mbah Putri yang telah meninggal pun tidak berhijab.
Mbah Kakung yang seorang Kiai tidak pernah menyuruhku berhijab.
Tapi, mengapa saya berhijab? 
Saya yakin, Allah yang telah menunjukkan jalan kepada saya. Saya pun berhijab, meskipun teman-teman di sekolahku ngeri melihat saya. Ada yang mengatai saya "culun" karena pakai hijab. Ada yang mengejek saya "ninja." Semua ejekan itu masih saya ingat jelas.

Beberapa tahun kemudian, saya melihat telah banyak muslimah yang mengenakan hijab. Meskipun masih ada yang suka menyinyir menganggap hijab sebagai ARABISASI, alhamdulillah Allah masih menguatkan keteguhan saya mengenakan kain penutup kepala ini. Jujur, selama berhijab itu, kadang-kadang saya ingin melepasnya. Kadang-kadang saya ingin menunjukkan rambut yang baru dicreambath, kadang-kadang saya ingin memakai kalung dan anting untuk bisa dilihat orang (tentunya saya harus lepas hijab), kadang-kadang saya ingin memakai pakaian yang tidak menutup aurat (lengan pendek), dan sebagainya. Tak heran jika teman saya yang lebih dulu berhijab mendoakan supaya istiqomah, ketika saya pertama kali mengenakan hijab.

ISTIQOMAH. Konsisten. Berkelanjutan. Dalam hal hijab, artinya bisa terus berhijab sampai kapan pun. Tidak akan melepas hijab di hadapan non mahram.  Sebab, memakai hijab itu ternyata bukan sekadar memakai penutup kepala. Memakai hijab adalah ujian keimanan. Buktinya, banyak orang yang tadinya berhijab, dari orang biasa sampai pesohor, tiba-tiba melepas hijabnya karena berbagai alasan. Hijab itu bukan pakaian biasa. Bukan pakaian yang besok kita pakai, kemudian kita lepas lagi. Hijab adalah pakaian takwa. Wajib dipakai setiap muslimah di hadapan non mahram. Pakaian yang menjadi sarana ibadah kepada Allah. 

Dahulu sekali, ada seorang pesohor yang sempat  saya kagumi karena berhijab di saat tidak banyak artis yang berhijab. Apalagi dia bergelut di bidang musik. Dia juga sudah pernah diwawancarai beberapa majalah Islam. Sayang, tak lama setelah terkenal dengan hijabnya, dia malah lepas hijab. Sampai sekarang Allah belum memberinya hidayah lagi. Ketika diwawancarai mengapa melepas hijabnya, ternyata dia kecewa dengan ayahnya. Ayahnyalah yang menyuruhnya memakai hijab, tapi kemudian ayahnya berpoligami. Dia kecewa karena ayahnya telah mengkhianati ibunya. Untuk membalas ayahnya, dia melepas hijab. 

Ada lagi kisah seorang pesohor yang melepas hijab karena merasa hijab bukanlah dirinya. Hijab tidak merepresentasikan dirinya. Ibunyalah yang menyuruhnya berhijab. Lalu, dia kecewa dengan perceraian ibunya. Setelah belasan tahun berhijab, dia melepasnya dengan alasan HIJAB BUKANLAH IDENTITASNYA. Banyak orang yang kecewa, karena kehadirannya di depan publik telah sangat membanggakan muslimah. Ini lho ada muslimah berhijab yang berprestasi luar biasa. Sayang, kebanggaan itu tidak berlangsung lama. Allah mencabut hidayah dari dirinya. 

Lalu, ada pula seorang artis yang sudah sangat terkenal, sebut saja inisialnya M, juga melepas hijab beberapa saat setelah bercerai dari suaminya. Orangtua M juga dulunya bercerai. Saya pernah menulis di blog mengenai hijab artis M ini, yang menyatakan bahwa saya bangga karena dia telah berhijab. Apa yang terjadi? Kebanggaan itu hanya sesaat. 

Ada juga seorang penulis buku islami yang melepas hijabnya, justru setelah bercerai dari suaminya. Bertahun-tahun dia mengenakan hijab, bahkan sudah berdakwah ke mana-mana, tapi mengapa kemudian dia melepas hijab dan mengenakan pakaian seksi? Dan ironisnya, orangtuanya juga bercerai. Saya tak ingin berspekulasi mengenai mengapa dia melepas hijabnya, tetapi ada yang perlu diambil pelajaran dari setiap kejadian di atas.

Banyak ibu yang berbondong-bondong memakaikan hijab kepada putrinya sejak mereka masih bayi, tetapi apakah ibu-ibu sudah membekali pengetahuan UNTUK APA dan MENGAPA putrinya harus berhijab? Sudahkah ibu-ibu mendekatkan putrinya kepada Allah? Sudahkah ibu-ibu mengajak putrinya mencintai Allah? Yang lucu, saya pernah menemukan kejadian di angkot. Seorang ibu yang tidak berhijab, memaksa putrinya mengenakan hijab. Memang lucu sih anak kecil dikasih hijab. Putrinya yang berumur lima  tahun itu menolak. Si ibu memaksa terus. Putrinya terus menolak, sampai akhirnya putrinya berkata, "Ibu juga nggak pakai jilbab.. kok aku harus pakai?" 

Nyesss.... saya yang mendengar percakapan itu ikut bergetar hati saya. Jangan dikira anak-anak yang masih kecil itu tak mengerti. Ibunya tidak berhijab, mengapa si kecil harus berhijab? Dari keempat kasus di atas, mengapa mereka datang dari keluarga broken home? Tentu saya tidak ingin menyamakan bahwa semua keluarga broken home itu bermasalah, tetapi perlu juga dipertimbangkan adanya keguncangan psikologis pada anak-anak yang orangtuanya bercerai. Itu yang harus diperhatikan oleh orangtua yang memilih bercerai atau bapak yang hendak berpoligami. Pikirkan anak-anakmu. Sudahkah mereka beribadah karena Allah dan bukan karena orangtuanya? 

Apakah anak-anak berhijab karena menaati orangtua atau karena Allah? Jika anak-anak berhijab karena perintah orangtua, maka tunggu saja ketika orangtua terkena masalah. Anak-anak merasa kecewa dan melepaskan segala hal yang mengingatkan mereka kepada orangtuanya. Salah satunya, hijab. Bergantung kepada manusia atau melakukan sesuatu karena manusia, hanya akan membuatmu kecewa. Sama halnya bila berhijab karena diperintah suami. Ketika suami melakukan kesalahan besar, kita pun melepas hijab. Intinya, ketika beribadah, niatkan semua karena Allah. Begitu pula ketika mengajari anak untuk menaati perintah Allah. Tanamkan kecintaan di dalam diri anak-anak kepada Allah. 

Rasa cinta itu sulit diterjemahkan dengan kata-kata. Bila seseorang sudah mencintai sesuatu, apa pun yang terjadi, dia akan tetap cinta. Bukan begitu? Misalnya, jika kita sudah mencintai Allah. Saat diberikan ujian seberat apa pun, kita akan bertahan karena kita cinta. Bagaimana bisa mencintai Allah? Itu datang dari perenungan yang dalam. Kontemplasi. Menghitung-hitung pemberian-Nya. Menadabburi firman-Nya. Bergaul dengan orang-orang saleh yang juga mencintai Allah. Tanamkan selalu di dalam hati bahwa saya berhijab karena Allah. Bukan karena manusia. Insya Allah dengan sendirinya akan timbul rasa malu. Bila kita akan melepas hijab, kita malu karena Allah memperhatikan. 

Bagaimana mengajari anak-anak mencintai Allah? Orangtuanya juga harus mencintai Allah. Orangtua juga harus selalu melibatkan Allah dalam pengasuhan. Doakan anak-anak agar selalu berada di jalan yang lurus. Ada atau tidak adanya orangtua, anak-anak tetap mendapatkan petunjuk dari Allah. Anak-anak saya memang masih kecil, jadi belum bisa dijadikan contoh. Saya tidak tahu bagaimana anak-anak saya nanti ke depannya. Saya hanya mendoakan dan mengarahkannya. Akan tetapi, saya belajar dari orangtua saya dulu. Ibu saya tidak berhijab, tetapi ibu saya tak pernah lepas mendoakan saya beserta anak-anak yang  lain. Satu demi satu, putri-putri ibu saya pun berhijab. Saat itulah ibu saya merasa malu. Kalau sedang berjalan-jalan, masa anak-anaknya pakai hijab, ibunya tidak? 

Di usia 40 tahun-an, ibu saya mengenakan hijab justru setelah semua anaknya berhijab.  Ya, doa. Itulah kekuatan seorang ibu. Ibu saya selalu khusyuk berdoa untuk kebaikan putri-putrinya sehingga alhamdulillah kami masih menaati perintah Allah sampai hari ini. Semoga kami bisa istiqomah selalu agar ibu kami tetap tersenyum di dalam kuburnya. Aamiin...

Postingan ini diikutsertakan dalam giveaway #DareToShare - http://www.unidzalika.com/2015/12/haruskah-saya-membuka-hijab.html

http://www.unidzalika.com/2015/12/daretoshare-kenapa-sih-kamu-memutuskan.html?m=1






Sabtu, 20 Februari 2016

Tips Menghadapi Orang dengan Gangguan Jiwa Exhibisionis

Assalamu'alaikum. Coba perhatikan foto di samping itu baik-baik. Ada yang menarikkah? Itu adalah foto saat saya sedang membeli Hotdog di Pasar Ikan Santolo Garut. Saat memasuki pasar, kami langsung bertemu sesosok wanita yang sedang jongkok dengan pakaian lusuh (kaus kecokelatan). Sidiq, anak saya yang nomor dua, nyeletuk, "Mah, kok itu nggak pakai celana?" HAH! Siapa yang nggak pakai celana? Waduuuh... anak saya melihat pornoaksi nih! Segera saya tarik anak-anak agar menjauhi wanita itu, yang rupanya sudah memperhatikan kami. BAYANGKAN! Wanita itu mengikuti kami! Maunya saya sih segera menjauh, tapi anak-anak minta dibelikan Hotdog. Saat penjualnya membuatkan pesanan, wanita itu ikut mengantri bersama kami! 


Takut? Yap. Itu reaksi wajar, sebenarnya. Siapa yang nggak takut berhadapan dengan orang dengan gangguan jiwa? ODGJ atau Orang dengan Gangguan Jiwa adalah orang yang kehilangan kesadarannya sehingga bisa melakukan hal-hal di luar akan sehat. Contohnya, ya nggak pakai celana itu. Untung kausnya panjang. Coba kalau dia  benar-benar telanjang. Bisa tambah heboh deh anak-anak saya. Anak-anak sudah mengerti batasan aurat wanita dan laki-laki. Kalau mereka melihat wanita berpakaian seksi, mereka akan berkomentar. Nah, jadi hati-hati deh berpakaian seksi di hadapan anak-anak. Kasihan kan, di usia muda, otak mereka sudah terkotori oleh pikiran mesum. Kecuali ODGJ ya... mereka tidak punya kesadaran, jadi susah dikasihtahu kalau harus pakai baju lengkap. 

ODGJ itu terus memperhatikan kami yang sedang membeli Hotdog, sambil menjilati lidahnya. Mungkin dia lapar. Si penjual Hotdog memberikan sepotong roti, kemudian ODGJ itu pun pergi. Ah, kasihan.. pasti ada sesuatu yang membuat jiwanya terguncang hingga kehilangan kesadaran. Itu pengalaman terbaru saat berhadapan dengan ODGJ. Selama ini, alhamdulillah saya belum pernah mengalami hal-hal mengerikan saat berjumpa dengan ODGJ yang demikian. Ada teman yang dikejar ODGJ sampai menjerit-jerit. Kalau saya pilih menjauh. Mereka nggak akan mengganggu kalau kita sudah menjauh. Justru yang mengerikan itu adalah orang yang memiliki gangguan jiwa tapi tidak menyadarinya. Contohnya, EXHIBISIONIS. 

Saya pernah dua kali bertemu dengan pria exhibisionis.  Yang pertama, saya sedang duduk di angkot sendirian. Di depan ada supir, tapi penumpangnya baru saya saja. Tiba-tiba naik seorang laki-laki dan duduk di hadapan saya. Eh, dia membuka ritsleting celananya, daaaan.... dia memamerkan alat vitalnya dong. Kaget? Untungnya waktu itu saya tergolong lemot, alias telat mikir. Saya malah ngeliatin orang itu, lalu bingung nih orang ngapain sih? Mungkin orang itu kesal karena saya nggak menjerit-jerit ketakutan. Dia pun turun lagi dari angkot. Setelah itu, baru saya bergidik. Ealah.. tadi kan dia itu.... idiih.... Geli.... Mending cakep #eh. 

Yang kedua, saat saya sedang berjalan berdua dengan teman di sisi kampus (ini kejadiannya masih kuliah). Dari arah depan, ada laki-laki berjalan ke arah kami. Teman saya yang mula-mula melihat. Dia menjerit, "Aaah... itu orang buka retsleting celananyaa!" Dia pun menarik saya agar keluar dari jalan tersebut dan mengambil jalan lain. Yah, kami memang belum sempat melihat "barangnya," untung sudah diantisipasi sejak dini hehe.... 

Nah, pengalaman teman saya yang paling mengerikan. Pulang dari kantor, dia naik angkot dan duduk di pojok. Kemudian ada laki-laki yang naik dan langsung duduk di pojok. Angkot pun segera penuh karena jam pulang kantor. Di tengah perjalanan, laki-laki itu membuka celananya dan memainkan alat vitalnya DI DEPAN TEMAN SAYA! Teman saya menjerit ketakutan, dan tahu apa yang terjadi? Pria itu semakin kesenangan dan orgasme! Ih, jijiiiiik..... Teman saya sampai muntah melihat cairan sperma di depannya. Dia semakin menjerit dan menangis. Soalnya pas orgasme itu, penumpang sudah mulai sepi. Supir angkot pun mengusir pria itu, tapi tetap saja trauma yang dirasakan teman saya itu nggak bisa hilang. Sampai besoknya, teman saya masih nangis-nangis. 

Orang exhibisionis mungkin nggak sadar kalau dirinya terkena gangguan jiwa. Setelah saya baca-baca informasi, ternyata orang exhibisionis itu malah senang kalau korbannya menjerit-jerit ketakutan. Dia akan orgasme. Jadi, kalau ketemu orang seperti itu, mendingan bersikap seperti saya. Diam dan pura-pura nggak melihat. Dijamin tuh exhibisionis itu langsung balik, karena gagal membuat kita menjerit-jerit. Apa yang saya sebutkan ini sesuai dengan informasi yang saya baca di www.klikdokter.com yah.

Jadi, kalau bertemu dengan exhibisionis, ini yang perlu kita lakukan:
  • Tetap tenang, jangan berteriak, apalagi menjerit-jerit karena hal itulah yang diinginkan pelaku demi mendapatkan kepuasan seksualnya. 
  • Tunjukkan wajah datar, tidak terkesan, dan masa bodoh. Kalau perlu, tertawakan saja kelakuannya itu. Atau picingkan mata dengan sorot mata, "punya lu kecil yee...." Itu akan membuatnya jera. 

Bagi orang yang memiliki kecenderungan exhibisionis, lebih baik berkonsultasi pada psikiater atau dokter jiwa. 


Kamis, 18 Februari 2016

Bandung Love Story: Bandung Lautan Cinta

Sarapan dengan si Cinta di Hotel deJava, Bandung
Assalamu'alaikum. Bandung, siapa yang tak kenal kota itu? Apalagi sekarang bapak walikotanya ngehits banget yah.. selain ganteng, berwawasan, lucu pula. Saya bukan orang Bandung, tetapi Bandung memiliki kenangan yang akan terus melekat seumur hidup. Tentu saja, bagaimana tidak, saya bertemu suami dan ayah dari ketiga anak saya, ya di Bandung. Cuit.. cuit... memang betul deh, Kota Kembang itu telah membuat hati saya dipenuhi  banyak kembang. Padahal, saya baru dua kali ke Bandung. Bandingkan dengan Semarang, tempat di mana saya kuliah dan ngekos selama empat tahun. Boro-boro ketemu jodoh, patah hati iya hehehe....


Itulah, kita memang tidak tahu di mana dan kapan akan bertemu dengan jodoh kita. Di tempat yang kita diami bertahun-tahun atau malah di tempat yang baru kita datangi? Jauh sebelumnya, saat masih ngekos di Semarang, seorang teman satu kos pernah berharap berjodoh dengan ikhwan Bandung, lulusan ITB. Wuiih.. ketinggian nggak tuh? Ya, berharap sih boleh saja, walaupun jelas-jelas kami kuliah di Semarang, masa minta jodohnya orang Bandung? Entah bagaimana cara bertemunya. Saya sendiri tidak punya gambaran dari mana jodoh saya, yang penting laki-laki, muslim, dan mapan (wueitss... dasar matre!). 

Setelah lulus kuliah, saya bekerja di Depok. Lah, terus bagaimana bisa dapat jodoh orang  Bandung? Cerita masih berlanjut. Barangkali ada yang sudah bosan baca cerita saya ini, karena sudah beberapa kali saya ceritakan juga, tapi ini saya tulis ulang hehe... Saya juga menjalani proses perjodohan dengan orang Jakarta dan sekitarnya, tapi gagal semua. Kemudian, dalam suatu kesempatan, saya pergi ke Bandung untuk acara kepenulisan. Apakah di sana saya ketemu jodoh? Ya, enggak juga. Sabar... tenang dulu. Kali kedua ke Bandung, saya sekadar jalan-jalan saja akhir pekan bersama dua orang sahabat: Kania Ningsih dan Mbak Tary. Mereka ini adalah teman sewaktu saya kerja di majalah. Kania Ningsih bekerja di majalah yang sama dengan tempat saya kerja. Mbak Tary seorang penulis lepas, sekarang dia sudah menjadi penulis skenario televisi yang sukses.
Ayah dan tiga anaknya di Mall Paris Van Java, Bandung

Yah, bisa dibilang dulu kami sedang galau-galaunya dalam urusan jodoh dan pekerjaan. Gaji minimalis. Calon jodoh, nggak masuk list. Kami beberapa kali gagal dalam urusan jodoh. Sampai kemudian Kania yang pindah ke Bandung karena mau meneruskan kuliah, mengabarkan kalau dia sudah dapat jodoh! Apaaaa? Kami keduluan Kaniaa? Kania sudah dilamar dan dua bulan lagi akan menikah. Mbak Tary pun mengajak saya mengunjungi Kania di Bandung, sebelum Kania menikah dan menjalani dunia yang berbeda dengan kami, hiks.... 

Kami menginap di kos Kania, ngobrol-ngobrol cantik sebelum salah satu melepas masa lajang. Saya jadi tambah galau kalau ada teman yang mau menikah, sementara saya belum ada calon sama sekali. Hasil dari ngobrol-ngobrol itu, Kania memberikan formulir kontak jodoh yang tadinya mau dia pakai tapi nggak jadi. Dia menyuruh saya mengisinya, nanti dikirim lagi ke dia pakai Pos dan dia yang akan meneruskannya ke Ustaz yang mencarikan jodoh itu. Coba kalau teman-teman jadi saya, apakah teman-teman akan melakukan saran itu? Kalau saya sih, yes. Dua minggu setelah memikirkannya, apa salahnya saya isi formulir jodoh itu dan kirimkan ke Kania? Sebulan setelah formulir itu diserahkan Kania ke Ustaz yang dimaksud, saya mendapat telepon dari Ustaz tersebut dan disuruh ke Bandung karena calon lelaki yang mau menjadi suami saya sudah menunggu. 

Taman Kota Sukajadi, Bandung

WHAAAT?! Deg-deg.. saya berangkat lagi ke Bandung bareng Mbak Tary, karena dulu itu saya nggak berani bepergian jauh sendirian. Kami menginap lagi di rumah Kania. Saya datang agak telat karena calon suami saya itu sudah menunggu satu jam sebelumnya. Wajahnya agak bete pas melihat kami datang hahaha.... Wawancara berjalan mulus. Tiga hari kemudian, Ustaz kembali menghubungi, apakah saya yes dengan lelaki itu itu? Saya gengsi dong bilang yes, saya balikkan ke Ustaznya, apakah lelaki itu yes? Dan ternyata... dia yes! Ya sudah, saya yes juga deh (pura-pura pasrah, padahal mau). Delapan bulan kemudian, saya menikah dengan lelaki itu. Lelaki yang saya temui di Bandung. Walaupun bukan orang Bandung, tapi lulusan ITB. Saya mengambil mimpi teman saya. 

Sekarang kami sudah sembilan tahun menikah dan punya tiga anak. Bandung tetap menjadi tempat favorit untuk jalan-jalan, karena selalu kami lewati kalau mau ke rumah orangtua suami di Garut. Beberapa tulisan mengenai tempat-tempat di Bandung yang kami kunjungi sekeluarga, sudah saya terbitkan di blog ini dan blog satunya lagi. Berikut ini daftarnya: 


Tentunya masih banyak lagi tempat-tempat di Bandung yang belum kami jelajahi. Bandung, sepertinya masih akan menjadi tempat tujuan wisata utama, selain Garut, karena murah meriah dan dekat. Semua tempat di Bandung, istimewa bagi saya, selama dijelajahi bersama suami dan anak-anak. Namun, tempat yang akan selalu saya kenang adalah rumah Ustaz di mana kami bertemu. Di mana itu? Rahasia ah. Nanti banyak yang nanya :D



Jumat, 12 Februari 2016

Cara Membuat Manisan Rambutan

Manisan Rambutan
Assalamu'alaikum. Lama tidak menyapa pembaca blog ini. Saya mau membagikan postingan yang sederhana saja. Beberapa waktu lalu, Ismail minta dibelikan rambutan. Sekarang ini kan memang sedang musim rambutan. Di mana-mana ada tukang rambutan. Yang tadinya jualan mangga, jadi jualan rambutan. Akhirnya saya beli deh rambutan tiga ikat di tukang buah dekat rumah. Sebenarnya dari awal sudah keliatan buah rambutan itu sudah layu. Mungkin sudah lama ya dipajang dan nggak laku-laku. Tapi mau nyari di tempat lain kok males, karena lebih jauh. Boncengin anak tiga kan repot. Beli tiga ikat juga karena permintaan Ismail. Harganya Rp 18.000. Saya tahu itu juga kemahalan, karena biasanya Rp 15.000/ 3 ikat. Berhubung yang jualnya sudah kakek-kakek, ya terima saja deh. 


Ternyata benar. Setelah dicoba, Ismail kurang suka dengan buah rambutannya. Buahnya susah lepas dari biji. Ismail maunya buah rambutan yang gampang dilepas dari bijinya. Yaaah... itu rambutan nganggur deh sampai beberapa hari, karena saya sendiri males ngemil rambutan. Kemudian saya mikir, enaknya diapain nih rambutan? Sampai kulitnya menghitam, masih belum ada yang mau makan. Saya googling saja dan nemu resep manisan rambutan. Aha! Bikin manisan rambutan aja, deh! Caranya gampang banget.

Bahan-bahannya:
Buah rambutan, dikupas kulitnya. Harusnya sih dipisahin juga dari bijinya, tapi ini kan susah dipisahinnya. 
Gula, secukupnya.
Garam, 1/2 sendok teh.
Pewarna makanan (kalau suka). Mestinya nggak usah pakai pewarna makanan sih, karena suami nggak suka. 

Cara membuatnya: 
Buah rambutan direbus bersama gula, garam, sampai mendidih. Lalu tambahkan pewarna makanan satu tetes. Aduk-aduk. Dinginkan. Setelah dingin, masukkan ke dalam kulkas.

Seger deh, kayak manisan yang dijual di supermarket, tapi yang ini nggak pakai pengawet. Sayangnya, cuma saya yang makan nih hahaha... Suami nggak mau kalau ada warnanya. Lain kali mesti bikin yang nggak pakai pewarna. Makan manisan juga nggak boleh sering-sering sih, khawatir diabetes. Sesekali dimakan kalau gerah dan cuaca panas. Segeeer.....