Selasa, 24 November 2015

My Dad My Hero: Pesan untuk Anak-anakku



Assalamu’alaikum… apa kabar, anak-anak Mama yang ganteng-ganteng: Ismail, Sidiq, Salim? Surat ini sengaja Mama tulis untuk kalian baca saat kalian sudah bisa membaca blog Mama ini. Mama ingin bercerita tentang seorang pahlawan yang sangat berarti bagi kalian. Seseorang yang begitu dekat dengan kalian. Jika suatu hari nanti kalian merasa kesal kepadanya, bacalah surat ini lagi. Agar kalian tahu bahwa kekesalan kalian tak seberapa dibandingkan usahanya untuk membahagiakan kalian.


Dia adalah… Ayah. Ya, ayah kalian. Mama ingin menceritakan saat pertama berkenalan dengan Ayah. Ayah sudah serius ingin melamar Mama, tapi Ayah bilang dia tidak bisa dekat dengan anak kecil. Wah, bagaimana kalau nanti kami punya anak, ya? Apakah Ayah bisa membantu Mama merawat anak-anak kalau tidak suka dengan anak kecil? Walaupun tidak suka anak kecil, Ayah ingin punya anak banyak.

Akhirnya kami menikah dan setahun kemudian, lahirlah Kakak Ismail. Sewaktu hamil Kakak Ismail, Ayah benar-benar sangat memperhatikan Mama. Ayah ingin Ismail lahir dengan sehat dan tidak kurang suatu apa pun. Ayah melarang Mama makan makanan yang tidak baik untuk janin. Ayah membelikan cemilan yang enak-enak tapi aman dimakan untuk Mama. Ayah selalu mengantar Mama ke rumah sakit dan klinik bidan untuk memeriksakan kandungan. Ayah mengawasi Mama agar tidak lupa meminum vitamin dari bidan. Ayah juga cepat-cepat membangun rumah yang nyaman untuk kita tempati. Pokoknya, Ayah mengusahakan yang terbaik untuk Mama dan calon anaknya. 

Apa yang Ayah bilang sebelum menikah itu benar. Ayah susah dekat dengan anak kecil, termasuk anaknya sendiri. Ayah harus belajar dari nol. Ayah tidak mau menggendong Ismail waktu masih bayi karena takut kenapa-kenapa. Ayah lebih memilih membantu Mama mengerjakan pekerjaan rumah tangga daripada menggendong bayi. Ayah jijik melihat pup dan ompol bayi. Ayah jarang mengajak Ismail jalan-jalan ke luar rumah karena malu. Laki-laki kok gendong bayi, begitu pikirnya. 

Kemudian, Kakak Sidiq lahir dan Mama kerepotan mengasuh dua anak yang usianya hanya terpaut setahun. Ayah memilih mencarikan pembantu rumah tangga daripada membantu Mama mengasuh bayi. Ya, ya, tentu saja seseorang tidak bisa berubah secara instan. Ayah butuh proses untuk berubah menjadi lebih dekat dengan anak-anaknya. Namun, yang perlu kalian ingat, Ayah tak pernah melupakan tanggungjawabnya untuk memberikan perlindungan, nafkah, dan kasih sayang untuk kalian. 

Memang, Ayah sibuk bekerja. Kakak Sidiq pernah bertanya, kenapa Ayah pulangnya lama? Iya, Sayang, pekerjaan Ayah memang banyak. Dulu sewaktu kalian belum sekolah, Ayah berangkat di saat kalian masih tidur dan pulang ketika kalian sudah tidur. Ayah hanya berbincang tak kurang dua jam setiap  harinya bersama kalian. Ada kalanya Ayah tak punya kesempatan mengobrol dengan kalian, kalau sesuatu terjadi yang membuatnya terlambat sampai di rumah. Itu membuat kalian sempat tidak dekat dengan Ayah. Mama ingat, sewaktu kalian masih kecil, kalian tidak mau digendong oleh Ayah. Kalian menganggap Ayah seperti orang lain saja. 

Ayah sedang menemani Sidiq belajar
Namun, ketahuilah bahwa Ayah bekerja untuk masa depan kalian. Ayah ingin kalian mendapatkan pendidikan  yang baik di tempat yang baik. Setiap hari Ayah berangkat naik kereta, berdiri dan berdesak-desakan dengan para orangtua lain yang berjuang mencari nafkah untuk keluarganya. Ayah pernah menyaksikan seorang bapak tua meninggal dunia di depan matanya sepulang bekerja. Bapak itu sepertinya kelelahan setelah bekerja seharian. Beliau meninggal di dalam kereta yang tengah melaju kencang. Begitulah perjuangan seorang ayah dalam mencari nafkah. Memang, kalian seperti tidak merasakan kehadirannya karena Ayah sibuk bekerja, tetapi seorang ayah telah mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya, bahkan jika itu dapat mengambil nyawanya. 

Untunglah, Ayah menyadari bahwa nafkah saja tidak cukup. Seorang ayah juga harus dekat dengan anak-anaknya secara fisik. Pelan-pelan, Ayah mulai dekat dengan kalian. Ayah sering mengajak kalian jalan-jalan tanpa Mama, Ayah menemani kalian belajar dan bermain, Ayah juga sesekali memandikan dan menyuapi kalian, Ayah membantu Mama menjaga kalian di saat sakit,  Ayah membacakan dongeng untuk kalian, dan Ayah mau menemani kalian di rumah bila Mama sedang ada  acara di akhir pekan. Masih banyak lagi yang Ayah lakukan untuk kalian. 

Ayah tetap bekerja dari rumah meskipun sedang sakit

Dan yang terutama, Ayah tetap giat mencari nafkah untuk kita. Meskipun sedang sakit, Ayah tetap bekerja dari rumah. Kelak jika kalian sudah berhasil menjadi orang yang sukses, jangan lupa bahwa di dalamnya ada jasa Ayah. Saat itulah kalian akan mengucapkan, “My Dad, My Hero!”


Diikutsertakan dalam lomba #MyDadMyHero #TecstarsWritingContest

 

Sabtu, 21 November 2015

Untuk Guru Anak-anak Saya, Terima Kasih atas Pengabdianmu



Suatu ketika, saya bertanya kepada Ismail,
“Kakak, gimana bu gurunya, ada yang galak nggak?”
Ismail menjawab, “enggak. Ustazah nggak ada yang galak, kok.”
“Bener nggak ada yang galak?” saya memastikan.
“Enggak. Ustazah baik semua.” Ismail memanggil guru-gurunya dengan sebutan “Ustazah” dan “Ustaz,” itu bahasa Arab untuk “Guru.” 


Alhamdulillah…. Saya lega mendengar jawaban jujur Ismail. Setelah beberapa bulan masuk sekolah dasar, saya merasa perlu menanyakan hal tersebut karena khawatir dengan kejadian-kejadian bullying.  Memang, tugas ibu mendidik anak-anaknya, tetapi saya juga membutuhkan bantuan orang lain, dalam hal ini adalah guru, karena mereka bisa melengkapi kekurangan-kekurangan saya dalam mendidik anak-anak. Kini, setelah 1,5 tahun bersekolah di SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), Ismail sudah hapal doa-doa salat, sudah mau diajak salat, sudah hapal beberapa doa harian, dan yang lebih menakjubkan, dari segi akhlaknya jauh lebih baik daripada orangtuanya. 

Suatu ketika, Ismail yang baru selesai makan cemilan, kebingungan mencari tempat sampah. 

“Mah, ini buang di mana?” tanyanya.

Saya yang sedang kerepotan memegangi adiknya, dan akan naik ke atas motor setelah mampir di sebuah warung, menjawab dengan asal, “Itu di selokan aja tuh. Banyak sampahnya di sana.” Sebenarnya saya tahu, membuang sampah sembarangan itu tidak boleh, tapi memang sayanya saja yang sedang “bandel”. Di selokan itu sudah menumpuk sampah dari orang-orang yang bandel seperti saya. Ismail tidak mau menuruti perintah saya. Dia masih memegangi sampah cemilannya. 

“Di mana sih ini buangnya? Di sini nggak ada tong sampah,” ia kecewa. Di sekolahnya, tempat sampah ada di mana-mana dan dibedakan: organik dan non organik. Ismail tertib sekali membuang sampah, sehingga dia tak enak hati membuang sampah sembarangan. 

“Ustazah bilang, kita nggak boleh buang sampah sembarangan,” katanya, menyentil telinga saya. 

“Oh iya, betuul… Sini, sampahnya taruh di motor saja. Nanti kita buang kalau sudah nemu tong sampahnya ya.” Saya ambil sampah itu dan meletakkannya di laci motor. 


Setiap Ismail melakukan kesalahan, dengan sadar dia akan segera beristighfar, salah satu bentuk hukuman yang diterapkan oleh para guru di sekolah Ismail kepada anak-anak yang bersalah. Bukan dengan kekerasan verbal dan nonverbal. Lain waktu, ibu guru Ismail mengembalikan uang jajan Ismail kepada saya saat pulang sekolah, dengan bisikan: 

“Bu, jangan bilang ke Ismail ya kalau uang jajannya saya kembalikan. Tadi uang jajannya saya sita, karena Ismail naik-naik ke atas meja. Itu salah satu bentuk hukuman, karena kami tidak mau menghukum dengan kekerasan.” 

Sejak itu, Ismail tidak mau naik-naik ke atas meja lagi, karena dia tidak mau uang jajannya disita. Sekolah memiliki kantin sendiri dengan makanan dan minuman yang telah diseleksi kebersihan dan kesehatannya.

Adik Ismail, Sidiq, juga sekolah di sekolah yang sama. Gurunya pernah mengirimkan foto-foto kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di luar kelas dengan catatan, “ini sedang belajar di luar kelas, supaya anak-anak nggak bosan, Bunda. Mereka gembira sekali.” 

Saya pun gembira memandangi foto-foto itu. Terlihat gambar anak-anak yang ceria menjalani proses belajar mengajar. Komunikasi antara guru dan orangtua pun terjalin akrab melalui whatsapp. Terima kasih, bapak dan ibu guru telah membantu saya mendidik anak-anak. Engkau bukan hanya pahlawan untuk anak-anak saya, tapi juga pahlawan saya. 



Jumat, 20 November 2015

Sweet November Rain: Bulan Teristimewa



Assalamu’alaikum, Alhamdulillah, bulan November sudah datang. Bulan yang amat ditunggu-tunggu penduduk Indonesia, karena diprediksikan hujan baru akan turun di bulan ini. Dan ternyata benar, hujan turun dengan indahnya di hari pertama November. Semua orang mensyukuri turunnya hujan, terutama di daerah yang terkena asap pembakaran hutan. Penderitaan berbulan-bulan pun usai sudah. 


Bulan November, selamanya tidak akan pernah menjadi bulan yang biasa-biasa saja buat saya. Saya lahir di hari pertama November, alias tanggal 1 November. Hayoo.. yang belum ngedoain, ditunggu ya di kolom komentar. Saya ingat bagaimana ibu saya bercerita mengenai proses kelahiran saya yang agak menyulitkan. Setelah seminggu di rumah sakit, saya belum lahir juga. Begitu pulang ke rumah, eh mbrojol. Tandanya saya lebih suka lahir di rumah ya, daripada di rumah sakit. 

Di pertengahan November pula, sembilan tahun lalu, saya bersanding di pelaminan dengan seorang lelaki pilihan. Indahnya penantian selama tiga tahun terbayar sudah. Eit, bukan berarti saya berpacaran selama tiga tahun lho. Maksudnya, selama tiga tahun itu saya menanti datangnya jodoh dengan sungguh-sungguh (berdoa dan berusaha) dan Allah Swt mendatangkannya di tahun ketiga. Rencana menikah di bulan Agustus, ternyata terlaksana di bulan November, hanya dua minggu setelah hari kelahiran saya. 

This is my sweet November rain, as always….




Selasa, 10 November 2015

Kasihan atau Memanjakan?

Maaf ya Nak, kalau Mama masih sering galak
Assalamu'alaikum. Mumpung kerjaan rumah tangga nggak begitu banyak, saya mau ngobrol-ngobrol lagi di blog. Kerjaan rumah tangga kapan sih nggak banyaknya? Hehe... sebenarnya hari ini juga banyak, berulang terus itu lagi-itu lagi, tapi ditunda dulu yah. Udah kangen sama blog nih. Ceritanya begini, sudah agak lama saya ketemu dengan ibu itu yang masih warga komplek perumahan tempat tinggal saya. Dulu, ibu itu sering meminjam uang sama saya, sebulan bisa tiga kali, sampai akhirnya saya stop. Bukan apa-apa sih, tapi saat itu saya belum kerja dari rumah kayak sekarang, jadi belum bisa bantu keuangan keluarga. Uang belanja dari suami kan ngepas, malah sering kurang, alhasil saya juga keberatan dipinjami uang terus. 


Nggak hanya itu. Kalau saya sedang beli nasi uduk dan semacamnya, ibu itu juga beli dan belinya itu banyak, karena anggota keluarganya ada banyak. Ironis sih, menurut saya. Setiap meminjam uang, dia mengaku nggak punya uang sama sekali, anak-anaknya belum makan, yah seperti orang yang sangat kekurangan. Eh, tapi kok beli nasi di warung. Namanya beli nasi yang udah jadi itu kan lebih mahal daripada masak sendiri. Kalau benar-benar kekurangan, kenapa enggak masak sendiri? Anak-anaknya juga gendut-gendut, anak-anak saya malah kurus-kurus kayak nggak dikasih makan. Waktu itu, saya yang masih pas-pasan saja, jarang banget beli nasi di warung. Lebih sering masak untuk menghemat. Jadi, kan aneh, ya yang minjam uang sama yang dipinjami kok kondisinya berkebalikan. 

Balik lagi ke kondisi setelahnya. Ketika ibu itu masih pinjam uang, anak-anaknya masih sekolah semua. Cuma satu yang udah kerja, itupun udah nikah. Justru itu masalahnya, si ibu merasa kesal karena anak pertamanya itu nikah sambil kuliah dan kerja. Bukannya kerja dulu, kasih uang ke ibunya, eh malah dikasih ke istrinya. Alhasil, ibu itu nggak dapat bagian dari gaji si anak sulung. Malah si sulung itu minta uang terus untuk urusan rumah tangganya. Ibu itu punya anak lima. Sekarang, dua anaknya yang lain juga udah tamat sekolah. Anak keduanya ini nih yang membuat saya prihatin. Anak laki-laki, mungkin sudah sekitar tiga tahunan lulus SMK, tapi sampai sekarang belum kerja juga. Masih luntang-lantung, dan kadang-kadang mengasuh anak tetangganya. Itu yang saya tanyakan ke si ibu.

"Anaknya belum kerja ya, Bu?" 
"Belum, nih. Susah ya cari kerjaan. Nggak ada yang cocok."
"Nggak cocok, gimana?"
"Ya, waktu itu pernah kerja, tapi kecapean. Kerjanya jauuh.... Gajinya kecil. Dari jam 5 udah berangkat. Saya kasihan, jadi saya suruh berhenti saja, nunggu dapat yang lebih enak kerjanya."

Saya melongo dibuatnya. Dan dari sejak saya nanya itu, sampai sekarang si anak laki-lakinya masih belum kerja. Enaknya, setiap pagi masih bisa nongkrong di warung nasi uduk, makan dengan kenyang sampai perutnya buncit seperti orang yang sudah nikah saja. Hiyaa aampuuun... zaman sekarang yah, apalagi hanya lulusan SMK, mana ada yang ngasih kerjaan nggak capek dan gajinya besar? Apalagi itu anak laki-laki, kok ibunya "kasihan"? Kasihan atau memanjakan? Saya jadi ingat zaman saya baru lulus kuliah dulu dan luntang-lantung cari kerjaan. Jangankan yang lulusan SMK, saya aja yang lulusan sarjana, susahnya minta ampun cari kerja. Almarhumah ibu saya, setiap hari nanyain nggak bosan-bosan, "Kapan kerja? Kapan kerja? Kapan kerja?" Bukan itu saja. Saya udah nggak dikasih UANG SAKU! 

"Kamu kan udah nggak kuliah, jadi sekarang Mamah udah nggak kasih uang lagi ya," kata Mamah, dengan kejam. 

AAAPPPAAAH?! 

Tanpa uang, apalah artinya saya? Saya nggak bisa BELI apa-apa. Tiap mau makan di rumah pun, kedua mata ibu saya menyipit, seperti nggak ridho ada pengangguran makan di rumahnya. Hasil kerja kerasnya. Mungkin itu hanya perasaan saya aja, mana ada sih ibu yang kejam begitu sama anaknya heheh.... Pokoknya, saya merasa nggak enak hati, deh. Berasa membebani orangtua. Saya hanya dikasih uang kalau mau kerja. Untungnya, saat itu saya udah kirim-kirim naskah ke penerbit, majalah-majalah, jadi lumayanlah dapat sedikit-sedikit. 

Saya sampai bolos ikut pengajian mingguan dengan alasan NGGAK ADA UANG BUAT ONGKOS.  Ditambah lagi di pengajian itu, saya mesti ikut infak, sedekah. Bukan apa-apa ya, kayaknya kondisi saya waktu itu justru harus disedekahin wkwkwk..... Jadi, boro-boro saya mau jajan di warung, beli nasi uduk setiap hari sampai perut buncit. Masih dibolehin makan di rumah aja udah syukur. Sampai kemudian akhirnya saya dapat pekerjaan, HANYA menggantikan pekerjaan karyawan yang cuti hamil. Waktu magangnya pun hanya tiga bulan! Saya jalani itu demi bisa dapat uang saku.

Berapa gajinya? Hanya 700 ribu! Sekitar 10 tahun lalu, uang segitu sudah tergolong kecil. Untuk transport dan makan siangnya aja sudah Rp 400.000. Kemudian saya ngekos, karena tempat kerjanya memang jauh banget. Gaji segitu nggak ada sisanya. Sebelum ngekos, saya berangkat dari rumah jam 6 pagi, naik bus dan gelantungan di pintu karena nggak kebagian tempat. It's okay! Pulangnya juga begitu. Saya anak perempuan, mana pakai gamis dan jilbab lebar. Gelantungan di pintu bus kayak kenek. 

Nah, itu, anak LAKI-LAKI, kok dikasihani sih, Bu? Ibu saya saja nggak kasihan sama saya, pokoknya saya harus kerja. Harus kuat. Makanya, saya nggak setuju dengan sistem pengasuhan anak di mana orangtua kudu mesti baik terus sama anak. Pernah saking baiknya, ada seorang bapak yang NGGAK MAU MENYUNAT anaknya, sebelum anaknya sendiri yang memutuskan mau disunat atau enggak. Alasannya, kasihan, nanti anaknya TRAUMA kesakitan disunat. Ya elah, disunat kan saat masih umur 4-8 tahun ya. Anak segitu belum bisa memutuskan mau disunat atau enggak. Kalau sakit, ya pasti sakit dan pasti nggak mau sakit. Tapi, apa iya kita terus menerus menjaga anak agar tidak merasakan sakit?

Rasa sakit, susah, tidak enak, berat, letih, payah, itu harus juga dirasakan oleh anak-anak kita. Jangan selalu dikasih enak dan dikasihani. Saya yakin, ibu saya dulu bukannya kejam. Beliau hanya sedang mendidik saya agar kuat, tegar, bekerja keras, dan pantang menyerah. Sewaktu saya mau menikah, calon suami saya kemungkinan bakal dipindah ke Medan. Saya tanya ke Mamah, apa saya harus berhenti kerja. Ibu saya bilang, "Di sana juga ada cabangnya, kan?" Ealaah... tetep masih harus disuruh kerja. Kalau ibu saya masih hidup, barangkali sekarang udah cerewet ya karena anaknya nggak kerja, hehehe.... Tapi, saya ada alasannya dong, mengasuh anak-anak. Nah, kalau LAKI-LAKI, nggak kerja? Mau apa? 

Noted to my self, tentu saja tulisan ini ditujukan untuk diri sendiri yang punya tiga anak laki-laki. Semoga saya bisa mendidik mereka  tanpa memanjakan yang membuat mereka  terlena. Aamiin...

 

Senin, 02 November 2015

Bermain-main di Taman Kota Sukajadi Bandung

Taman Kota Sukajadi
"Mama kok ke sini? Bukan ke sini....!" Tiba-tiba Sidiq berhenti berjalan dan tak mau mengikuti saya.  
"Itu masuk ke mall, kita jalan-jalan ke sana...." Saya mencoba membujuknya. 
"Nggak mau! Bukan ke sini, tapi ke sana...." Sidiq menunjuk ke arah berlawanan. 
"Ke taman itu? Jauh... harus jalan kaki, mau?"
"Mau!" 


Oke, tadinya saya dan anak-anak mau masuk ke dalam mall Paris Van Java yang ada tepat di depan hotel tempat kami menginap saat liburan akhir pekan di Bandung. Eh, ternyata Sidiq masih mengingat janji saya sebelumnya yang mau mengajak jalan-jalan ke taman, sekitar 500 meter dari hotel. Sebelum memasuki hotel, saya sempat melihat keberadaan taman di tengah kota itu. Tidak begitu besar, tapi lumayanlah untuk bermain-main gratis. 

Saya dan anak-anak berjalan kaki dari Paris Van Java menuju ke Taman Kota Sukajadi. Untung pedestriannya cukup ramah untuk pejalan kaki, tidak ada pedagang kaki lima yang berjualan di atas trotoar. Hanya saja saya harus waspada mengawasi anak-anak agar tidak berlari ke tengah jalan raya yang padat. Kira-kira sepuluh menitan, kami sampai juga di Taman Kota Sukajadi yang asri. Jalan berbatu kerikil yang digunakan untuk terapi kaki pun menyambut kami. Namanya juga hutan kota, pepohonannya besar-besar dan rimbun. Meskipun berada di tengah-tengah kota pada waktu siang hari, udaranya sejuk. 

Harusnya tanpa alas kaki nih....
Bergandengan tangan memasuki taman
Awalnya, saya sempat agak takut pas mau ke tengah taman, eh kok banyak pemulung yah. Ada yang sedang beristirahat dengan tumpukan sampah di sampingnya, ada pula yang bermain dengan anak-anaknya (keluarga pemulung, maksudnya). Ah, tapi kan mereka manusia juga, kenapa takut? Ternyata anak-anak saya malah akrab dengan anak-anak pemulung itu. Mereka main bersama. Anak-anak memang tidak mengenal perbedaan sosial ya.

Anak-anak langsung berlarian menuju ke fasilitas bermain: perosotan dan jungkat-jungkit. Sayang, ayunanannya sudah tidak ada tempat duduknya. Ada orang yang kreatif mengganti tempat duduk ayunan dengan kain dan anak-anak saya pun mencobanya! Tentu saja saya larang karena khawatir kain itu kotor. Siapa yang tahu kain itu sudah diompoli atau dipakai mengelap ingus. Anak-anak pun asyik bermain perosotan dan jungkat-jungkit, sementara ibunya sibuk foto-foto hehe....

Ayunan yang sudah rusak

Perosotan

Jungkat-Jungkit
Kekurangannya, bagian tengah taman itu dikotori oleh sampah dedaunan. Sedikit terlihat kurang bersih, tapi wajar saja karena di situ banyak pohon. Dibersihkan pun, pasti ada lagi. Sepertinya taman itu dibersihkan, mungkin dengan jadwal tertentu, karena sampahnya tidak menumpuk. Yang pastinya sih anak-anak senang sekali main di taman itu sampai tidak mau diajak pulang. Ternyata buat anak-anak, yang penting ada satu atau dua fasilitas bermain, sudah menyenangkan. Mereka seru-seruan bareng teman-teman di sana yang baru dikenal. Bahkan sampai dua kali beli es krim, kebetulan ada tukang es krim keliling. 

Pohonnya rimbun yaaaa....
Sayangnya, saya yang was-was kalau mereka betah di sana, karena harga es krimnya dinaikkan beberapa kali lipat. Hadeuuh... ambil kesempatan banget ya si Abang, hehe.... Buru-buru deh saya ajak pulang anak-anak, sebelum minta es krim yang ketiga kalinya. Mang, Mang, jualan di taman kota kayak jualan di tempat wisata. 

Rupanya anak-anak lebih suka main di taman ya daripada di mall. Andai di dekat rumah saya ada taman kayak gini, pasti anak-anak tidak perlu diajak ke mall melulu. Kalau di mall, main kayak  begini pun kena biaya.